Mati Surinya Seni Ludruk


Surabaya –   Ludruk merupakan kesenian khas Jawa timur yang mulai tidak diminati. Bahkan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat kota Surabaya.

“Semua sistem kebudayaan selalu didukung oleh sistem masyarakat. Kalau sistem masyarakat berubah, maka sistem kebudayaan juga akan berubah.” tutur Aribowo, Dekan Fakultas Ilmu Budaya , Universitas Airlangga.

Menurut Aribowo yang ditemui di kantornya (3/1/2012) ,  dulu banyak dari kalangan atas yang menonton ludruk. Namun ketika masyarakat  mulai bersifat modern dan memiliki tingkat pendidikan tinggi sehingga pemikiran masyarakat berubah. Kesenian tradisional akan bergeser dan itu terjadi dimana mana.

Ludruk yang berasal dari banyolan ini juga merupakan sebuah produksi dari masyarakat bawah, sehingga cerita  yang disajikan mengenai masyarakat umum. Bahasa yang digunakan juga menggunakan bahasa masyarakat pada umumnya. “ Suroboyo ya bahasa Suroboyoan. Kalau dia di  mojokerto, bahasa mojokertoan, kalo dia di jombang bahasa Jombangan. Nah itu mau menunjukan bahwa ludruk itu menunjukkan klasifikasi masyarakat ” jelasnya.

Walaupun demikian ada beberapa yang masih mencintai kesenian ludruk. Salah satunya adalah kelompok ludruk Karya Budaya. Kelompok ini pentas di daerah pinggiran, satu bulan sebanyak 15 kali dan sekali pentas mendapat lima belas juta rupiah.  “ Di Surabaya banyak yang menanggap kesenian ludruk di daerah pinggiran seperti di Sambikerep dan daerah Mbenowo” jelas Aribowo yang dulu pernah menjabat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur.

Nasib yang berbeda dialami oleh kelompok ludruk Irama Budaya yang terletak di salah satu sudut Kampung Seni Taman Hiburan Rakyat (THR). Terletak di tengah kota, di antara masyarakat modern Surabaya membuat grup seni ini tidak terlalu diminati.

Kelompok ludruk yang diketuai oleh Sakiya atau lebih dikenal dengan Mak Sakiya ini telah berdiri sejak tahun 1987. Lebih dari 50 orang pemain tergabung dalam grup ludruk ini. Dengan mengandalkan dari pentas yang hanya dua kali seminggu maka tidak akan cukup untuk membiayai sejumlah 50 orang.
Ya kalau kesenian kita ini kalo gak kita sendiri ya gak bisa. Asal ada yang nonton ya kita main.” tutur Mak Sakiya.

Pemerintah telah memberikan tempat pertujukan ini pada kelompok ludruk, namun animo masyarakat kota surabaya terhadap ludruk memang masih kecil. Terbukti hanya ada lima belas sampai dua puluh orang pada hari biasa atau kamis malam. Dengan biaya masuk lima ribu rupiah tidak dapat mencukupi kebutuhan biaya hidup. Namun demikian sebagian pemain tetap tidak mencari pekerjaan lain.
“Surabaya jangan sampai gak ada Ludruk, apa lagi Ludruk kan ikon Surabaya” harap Mak Sakiya yang mengaku pernah diundang oleh Sutiyoso saat menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu.

Keterpurukan ludruk ini tidak mengurangi minat pemuda untuk tetap mencintai  seni ludruk.  Beberapa memang ada yang masih tetap berminat pada seni yang menampilkan tari Remo dan  di setiap pementasanya.  Salah satunya adalah Ari Setiawan yang masih menjadi mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga.  Merasakan sedikitnya antusias dari masyarakat, namun tetap setia menjadi pemain ludruk.

“Seni yang lain sudah banyak yang meneruskan, saya berkaca dari pemain senior yang sudah punya tanggungan. Mereka rela menyisihkan waktu dan biaya untuk tetap mengeksiskan ludruk. Kenapa saya yang masih muda dan belum punya tanggungan tidak mencoba “ ujar  Ari yang juga menjabat sebagai menteri seni dan budaya di BEM FISIP.

Tidak dipungkiri bahwa motif dari menonton ludruk tidak hanya karena senang dengan ludruk tapi juga karena adanya tujuan tertentu. Banyak dari penonton yang memanfaat kelompok ludruk di THR ini untuk melakukan observasi ataupun untuk seni fotografi. Walapun sedikit namun memang masih ada penonton  menikmati seni ludruk.

Sebuah pergesaran budaya yang menghilangkan budaya asli Jawa Timur, memerlukan perhatian khusus. Ludruk menjadi kesenian khas Jawa Timur yang perlu diperhatikan oleh seluruh elemen masyarakat kota Surabaya. (sar)

ditulis oleh mahasiswi ilmu komunikasi Universitas Airlangga sebagai UTS mata kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik-