Menuju 25, Saya Sudah Jadi Apa?

"Kamu sudah berbuat apa di usia yang nyaris seperempat abad ini Ndin?"
"Belum berbuat apa-apa. Aku belum jadi siapa-siapa, dan belum melakukan apa-apa. Hanya butiran debu-debu jalanan."
"Kasihan sekali ya. Tapi sebenernya goal seseorang sebelum usia 25 itu apa aja sih?"
Ada yang lebih kampret nggak dari percakapan ini? Banyaaaaaaaaaak....
Saya bukan orang yang suka diberi belas kasihan dari orang lain. Lha ngapain? Situ punya cermin nggak? Sudah ngerasa lebih dari saya? Lagipula, rasanya ada orang lain yang lebih pantas diberi belas kasih kan? Kata lainnya sih saya nggak pernah suka diremehkan.

Beralih ke pertanyaan terakhir. Apa sih sejatinya goal seseorang sebelum usia 25? atau Ketika masuk gerbang 25 itu sudah harus dipenuhi. Jawabannya? Goal setiap orang itu beda-beda. Erat kaitannya dengan mimpi, angan, dan cita-cita. Nggak bisa digeneralkan.

Balik ke saya pribadi, apa sih pencapaian saya menuju usia 25 ini?


 
  • Di usia 22, saya sudah berani bilang mandiri secara finansial. Walau di usia itu saya belum yakin sudah kerja dengan sepenuh hati

Saya di wisuda itu Maret 2014 silam, saat usia saya belum genap 22 tahun. Tepat bulan Oktober di tahun yang sama, saat usia saya masuk 22, saya mendapat pekerjaan pertama. Dengan gaji yang sudah di atas UMR, saya bahkan bisa bayar cicilan motor sendiri. Saya bayar kos sendiri, makan sendiri, dan hura-hura sendiri. Sombong? Iya. Engga sih sebenernya, apa ada yang salah dari memberi apresiasi pada diri sendiri?

Tapi jujur, saya nggak puas kala itu. Berulang saya bilang, nggak mau kerja kalau hanya demi uang. Tapi nyatanya? Saya bahkan ngerasa otak saya mandeg, nggak berkembang. Tapi tetep saya terlalu cupu untuk keluar lebih dulu tanpa adanya pengganti. Hahahaa begitulah...


  • Usia 23, akhirnya saya nemu kerjaan yang bikin senyum tiap hari. Uang tak lagi berarti, hanya sebatas benda mati pembeli kebutuhan sehari-hari

    Dulu kalau denger orang kerja orientasinya uang itu wajar-wajar aja, entah kenapa makin kemari jadi makin nggak wajar. Sering denger nggak sih, banyak orang terjebak dalam pekerjaan yang dibenci setengah mati seumur hidupnya. Dilakukan semata-mata hanya untuk rupiah atau dollar, apalagi? Nah, kemudian hanya ada segelintir sisanya yang beruntung mendapatkan pekerjaan yang sudah sangat sesuai dengan kata hati. Hingga susah move-on ke pekerjaan lain yang menawarkan tingkat kesejahteraan lebih tinggi.

    Saya termasuk tipe kedua, melepaskan yang pertama pada awal April lalu, di usia 23 tahun lebih sekian bulan. Akhirnya saya ketemu pekerjaan, yang sebenernya masih segaris, masih sama sama nulis, tapi beda di duit. Asal bisa makan saya sih nggak ambil pusing. Toh duit nggak bakal dibawa mati ini. Dan terkadang, bukankah kita juga harus rela menurunkan tingkat kesejahteraan, demi ketulusan dan kenyamanan dalam pekerjaan? Hidup itu pilihan~



    Di usia 23 juga, sejatinya saya sempet merintis usaha sendiri (bareng 2 temen sih). Tapi kalau memang belum siap ya gimana?

    Normal rasanya, kalau di sebuah titik kita merasa harus keluar dari zona nyaman. Saya pun demikian. Ada kalanya saya tak mau bekerja bersama orang lain, ingin jadi bos bagi diri saya sendiri. Memiliki usaha yang mampu dilakoni sepenuh hati. Tujuannya? Tak salah kan jika saya bilang untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

    Sayangnya, di titik ini pula saya gagal. Dengan beragam alasan, usaha itu pada akhirnya tak berjalan. Saya kembali ada di sebuah kantor dan masih bekerja dengan orang lain. Sama sekali tak ada yang salah dengan hal ini. Hanya mungkin kala itu waktunya belum tepat saja (atau justru saya salah memilih kawan?). Punya Wedding organizer dan kedai kopi sendiri, serta kelompok teater masih sebatas mimpi hingga kini.


     Menikah? Ahh yang ini masih entah. Entah kapan dan entah siapa calonnya. Hahaa

     Perempuan mana yang tak bermimpi menikah? Terlepas dari sebuah sunnah di agama saya, menikah bisa dibilang mimpi terbesar dalam hidup saya, sejauh ini (menikah atau pesta pasca akadnya Ndin?). Bahkan diam-diam, ada file soal wedding sendiri di leptop saya. Hahahaa sulit diakui, tapi memang begitu adanya. Saya berkali-kali bilang, nggak akan menikah karena usia, tapi namanya target jelas ada. four or five laters will be.

    Seperti layaknya perempuan lain, saya pun ingin pesta hemat tapi berkesan untuk semuanya. Ada teater di dalamnya, outdoor seburuk-buruknya di hutan pinus lah ya, souvenir berupa ramuan kopi, undangan handmade yang ada sketsanya, buku tamu dengan cap jari masing-masing tamu yang membentuk lukisan pohon atau balon atau entah apa. No money pokonya, tamu wajib bawa buku biar abis gitu saya punya perpustakaan. Ini mimpi yang udah kelihatan jelas banget di mata saya <3<3

    aku mau nikahan kaya giniiiii (http://www.glitzmedia.co)

    Mimpi terbesar setelah nikah, MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA (bukannya menikah juga membahagiakan mereka ya? :P)

    Nah, ini nih. Saya belum pernah nanya, sejatinya mereka sudah bahagia belum sih punya anak macam saya? Entar lebaran saya tanyakan dulu yaa... Nunggu lebaran? Iyalah ketemunya pas lebaran entar -_-

    Dari jabaran di atas, kayanya saya baru mencapai dua hal deh dalam hidup ini. Mandiri secara finansial dan bisa senyum setiap hari. Yang belum? Usaha sendiri dan menikah. Yang entah? bahagiain Mak Bapak.

    Udah ah, pulang dulu... Jangan lupa bahagia. Jangan lupa apresiasi dirimu sendiri, jangan terus-terusan lihat ke atas, sekali-kali ngaca dan lihat ke bawah juga.

One Response so far.

  1. Unknown says:

    hahha seperti bercermin baca tulisanmu

Leave a Reply