"Ini hari ke-sepuluh Aku lihat kamu seperti
ini Dil, mau sampai kapan?"kata Deista yang masih berdiri di ambang pintu.
Afdila, yang ditanya sama sekali tak menggubris dan berminat menjawab.
"Aku nggak mau datang kemari dan lihat kamu sudah jadi mayat ya Dil. Promise
me?" Deista mendekat sambil memandang lekat wajah sahabatnya. Dila,
mau tak mau melihat juga wajah kawannya, hanya senyum hampa yang terukir di
wajah cantiknya.
Seketika ponsel Dila berbunyi, memberi notifikasi
tanda ada surat elektronik masuk. Tak seperti ketika ditanya karibnya,
perempuan berambut sebahu itu langsung berlari meraih benda kecil itu. Hanya beberapa
detik, wajahnya yang sudah sendu menjadi pias, lantas tawanya pun meledak. Deista
memasang tampang prihatin sekaligus penasaran.
“Deis, Aku itu sama sekali nggak tulus ya,” ucap
Dila tiba-tiba. Deista yang ditanya, tak langsung menjawab. Setelah memikirkan
jawaban yang dirasa tepat, dia pun berani berargumen, “Kata siapa? Justru kamu orang
paling tulus yang pernah Aku kenal Dil. Kamu orang yang aku tahu bukan kerja
untuk uang, tapi untuk kepuasan batin. Bahkan, kamu akan rela pindah kerja
walau gajinya lebih rendah, asal kamu jadi lebih berguna. Iya kan? Kenapa sayang?”
Dila pun lantas memberikan ponsel kuningnya. “Aku
nggak setulus itu Deis. Aku selalu bilang ingin jadi guru di pedalaman. Memang,
tapi niatku ngga murni dan tulus untuk mengabdi. Membagi ilmu dan kasih sayang
pada anak-anak itu, enggak.” Perempuan bermata cokelat itu bicara panjang lebar
dengan pandangan yang entah mengarah kemana. Deista ingin sekali memeluknya,
sudah sepuluh hari dia melihat kawan sedari kecilnya itu menjelma seperti orang
lain yang sama sekali tak dikenalnya.
“Kamu tahu apa tujuan lainku? Lebih dari mengabdi,
Aku ingin menjelajah pulau yang aku tempati nantinya, tak cukup hanya menjamah.
Aku akan berpetualang ke seluruh penjurunya. Aku akan belajar bahasa mereka,
budaya dan keseniannya. Masuk ke kehidupan anak-anak itu dan lantas menjadikan
bahan tulisan dalam bukuku kelak,” dan akhirnya perempuan yang hanya mengenakan
celana pendek dan kaus putih itu meneteskan air mata juga.
Sahabatnya yang sedari tadi hanya memandang pun
kian mendekat lagi. Tak tahu harus memberi respon apa, dia hanya bisa memberi
pelukan, dengan harapan bisa sedikit menenangkan. Membiarkan Dila fokus
mengeluarkan air mata beberapa menit, barulah perempuan berkerudung itu berani
bicara. “Dil, berapa banyak orang sih yang sadar apa mimpinya? Tujuan hidupnya?
Dan menyusun berbagai rencana dalam hidup ini? Nggak banyak Dil. Kebanyakan,
mereka menyerah setelah lulus kuliah. Mereka fokus pada perusahaan yang
meminang mereka, pada pekerjaan yang mau menerima. Asal bisa makan, bayar aneka
cicilan, cukup. Persetan dengan mimpi masa kecil,” sejenak pemilik lesung pipit
itu mengambil jeda. Tentu sambil memastikan Dila mendengarnya atau tidak.
“Dan kamu sayang, kamu masih idealis dan jujur
banget lho Dil. Kamu sadar akan semua
niatanmu itu. Kamu berjuang untuk apa yang kamu tuju. Hingga akhirnya sekarang,
kamu sadar kalau kamu serakah?” lekat, Deista memandang mata cokelat di
hadapannya. Tersenyum, Dila langsung menjawab, “Iya Deis, Aku baru sadar aku
terlalu sekarah. Dan Tuhan tahu mana yang tulus yang tidak. Mereka, anak-anak
itu, bukan prioritasku. Mungkin, aku akan pergi kesana nanti tapi bukan untuk
mereka,” mulai ada binar di wajah yang sendu hampir dua Minggu itu, entah apa
yang sedang dipikirkannya.
*****