"Mana yg lebih sakit Dil? Ditinggalin pacar demi balikan sama mantannya,
ditolak mimpi yang cuma tinggal selangkah lagi, atau jatuh dr motor
gegara ditabrak mobil dr blakang?" Laki-laki berkacamata itu mengajukan
pertanyaan panjang pada Dila. Dan kini raut wajahnya benar-benar serius
menunggu jawaban.
"Apaan sih?" Perempuan itu malah menjawab ala
kadarnya tanpa menoleh si penanya. Dia asik membaca majalah travel yang
sudah dibelinya dua bulan lalu. Ahh sepertinya dia juga tak fokus
membaca.
"Aku serius Dil. Jawab!," seperti guru menanti jawaban
ujian, dan tenggat waktu segera habis. Pemilik tinggi tubuh 169 cm itu
memaksa Dila menjawab tanya yg diajukannya.
Tak langsung
menjawab, Dila menutup majalahnya perlahan, meletakkan di meja samping
ranjang. Matanya menerawang, memikirkan pilihan yg ditawarkan si penanya
sambil sedikit menahan sakit disekujur badan. "Soal yang kau beri bukan
untuk pilihan ganda Fer, tak ada jawaban benarnya. Saat tiga hal atau
kejadian itu terjadi dalam jangka waktu nyaris bersamaan, hidupmu
rasanya hancur. Ketika kau membuka mata dan mendapati ingatanmu masih
sempurna, kau akan mengutuk kenapa tak amnesia saja," senyum sinis hadir
di bibir mungilnya.
Ferdi nama penanya itu. Dia rekan kerja
dila. Berada disana karena tak sengaja menghubungi Dila, tapi yang menjawab
adalah pihak RS. Langsung saja lelaki itu meluncur kesana.
"Dilaaaaaa
kamu masih hidup kaan?" Deista dan ada tiga perempuan lain bersamanya.
"Baru kemarin aku bilang, nggak mau ke rumahmu dan liat kamu jadi mayat.
Terus kamu pilih jadi mayat di jalan gitu?" Perempuan satu ini walau
terlihat anggun di luar, sesungguhnya dia lebih cerewet dibanding Dila.
Melihat
kedatangan empat sahabatnya, yang satunya langsung mengomel panjang
lebar, Dila hanya bisa bengong. Percuma memotong pikirnya, sama seperti
dirinya sendiri, hanya butuh didengar.
"Kok bisa Dil? Diantara
kita berlima kan kamu yang paling hati-hati. Bahkan saat traffic light
masih orange juga kamu sudah berhenti. Kamu yang paling taat lalu lintas.
Lalu?" Perempuan berambut panjang yang berdiri di samping Deista ganti
bertanya, dengan lebih halus tentunya.
Mengawali dengan senyum,
Dila pun menjawab semua tanya mereka. "Lagi meleng aja matanya. Ada cewe
pake motor di depanku kan. Nah, dia make wedges kekecilan kayanya. Jadi
telapak kakinya keliatan kan, dan itu kakinya berkapal cyin. Aku duluin
kan, demi liat kaya gimana wajahnya. Aku fokus bener-benerin spion kiri, dan
nggaa liat spion kanan. Eh ditabrak mobil dari kanan. Jatuh deh" Dila
berusaha menjelaskan.
Mendapati penjelasan demikian, spontan
wajah kelima temannya terlihat shock, dan tak bisa berkata-kata. Hanya
Ferdi yg tertawa di pojok kamar. Dila terlihat tak terima melihat respon
non verbal para sahabatnya. Apa lagi Deista, yang bertanya panjang lebar
dan kini hanya bengong saja.
"Kenapa diem?" Respon itu sama sekali tak sesuai ekspektasinya.
"Dila
sayang. Kamu nggak berubah. Konyol tau nggak sih. Demi apa kamu
ngeliatin kaki orang pas nyetir? Salah fokus nih bocah," komentar
perempuan beranbut panjang yang bernama Ana itu.
"Aku tebak aku
tebak. Pasti perempuan dengan kaki kapalnya itu dari belakang kece kan. Dan
kaya nggak tau Dila aja, dia harus memastikan penampilan itu sesuai
dengan wajahnya atau engga," kawan satunya lagi yang bernama Nadin
menambahi dengan tertawa.
Dila pun nyengir seraya menjawab, "tuh
tau. Dese kece badai. Dan mau nyocokin wajahnya aja. Cuma itu. Ehh siapa
suruh mobil di belakang aku."
"Kamu pikir semua perempuan cantik
kakinya mulus ha? Untung km masih hidup. Masa mati gegara salah fokus
ke kaki orang," ucap Deista sewot.
Dila hanya satu malam di RS, lukanya tak parah. Hanya lecet lecet di tangan dan kaki. Padahal dia berharap amnesia.
Belum Ada Judul (2)
*****
Are you Dila?