“Anomali masyarakat Indonesia untuk
berbagi itu tinggi ya. Negaranya aja yang kurang memfasilitasi. Banyak orang
mau jadi relawan. Kalau pendidikan masih nggak merata, dipedalaman misalnya, ya
bukan salah masyarakat. Semoga lolos ya mbak. ”
“Mau ke Papua mbak? Beneran? Itu jauh
banget lho mbak.”
“Mbak yakin? Apa yang dicari disana?
Atau jangan-jangan sudah punya pacar orang sana? Hehee... orang tua gimana
mbak?"
“Mbak mulia
sekali ya. Semoga barokah ya mbak.”
Dan serentetan
pertanyaan-pertanyaan lainnya
Sabtu, Minggu, Senin, Selasa, empat hari saya down. Kalau saya bener bipolar, empat hari lalu itu fase depresi saya. Sabtu yang nggak karu-karuan pas pulang
kantor. Muter-muter malem-malem nggak jelas dan berakhir dengan “mainan” tamiya
sampe nyaris tengah malem. Minggu yang paginya harus ketemu banyak orang
padahal suasana hati lagi kacau. Maksa senyum, akhirnya nggak kuat, nangis
juga. Paginya mata jadi bengkak dan nggak sedap dipandang. Lalu Senin, untuk
pertama kalinya menghabiskan libur di Gresik saja, nggak ingin beranjak
kemana-mana. Pengennya sih me time,
ya di rumah aja. Mendedikasikan libur untuk ngobrol sama diri sendiri. Tapi ada
dua sahabat yang nggak tega. Dijemput dan diajak makan, ngobrol, muter-muter.
Total hampir lima jam, lalu saya sendiri lagi. Selasa? awalnya ngaku lebih baik, eh masih nangis semaleman dan Rabu ini tadi milih piknik ke Madura daripada kerja.
Rasanya, saya cukup mengobati dengan denger
musik favorit, dan nyampah dimana-mana. Seperti kebiasaan selama ini, saat
“sakit hati. ”Mulai dari gonta ganti foto profil dan
status di BBM, berkicau tentang entahlah-entahlah di twitter, line, check ini check in di path, upload banyak foto di instagram, ya
nulis-nulis nggak jelas diblog, masih ditambah diary, ya diary kecil mini yang
kudu dibawa pas kacau begini. Nangis di tempat umum pun sambil corat-coret.
Dilihatin orang sih, bodo amat. Kaya situ nggak pernah begini aja. Jadi ya
harusnya saya minta maaf untuk semua yang merasa terganggu. Anaknya memang kaya
gitu.
“Pernah nggak
sih tiba-tiba lu ngerasa sedih yang sedih banget tapi lu nggak tau penyebabnya
karena apa. Pernah nggak?” ya itu yang saya rasa. Nggak sering memang, minimal
tiga bulan sekali, kalau saya nggak salah ngerti tentang diri saya sendiri.
Ahhh.... ya sudah. Sebenarnya saya cuma
ngerasa,
Semakin banyak yang saya lakukan itu
buat apa? Saya ngejar apa?
Saya wartawan, saya juga guru
ekstrakulikuler sebuah SD, bentar lagi ikut siaran di sebuah radio yang masih
eksis di kota Pudak ini, mulai rintis usaha bareng temen juga, belum lagi
tulisan-tulisan itu. Lalu, apalagi? Masih kejar kemungkinan untuk berangkat ke
Papua atau Berau, mulai dari jangka waku enam hari, satu tahun, dan bahkan dua
tahun.
Serakah, kemaruk, iya.
Pencarian jati diri? Sudah bukan lagi.
Jauh di dalam hati, saya tau kok apa
yang saya tuju, yang saya mau. Anak-anak, iya anak-anak. Selebihnya, saya hanya
tak ingin tak produktif, tak berguna, dan melewatkan masa muda tanpa banyak
pengalaman.
“Kamu cuma bermain dengan semua ini.
Lalu, kapan akan berhenti,” tanya seseorang.
I”m
23 years old. Ahh main-main. Wartawan itu my main job. Tentang radio, iya saya
iseng. Ehmm..bisnis? buat investasi. Tulisan? Ayolah. Saya pun ingin dikenang
dengan karya. Kalau soal guru ya anak-anak, mau ke luar pulau buat mengajar ya
buat anak-anak.
“Berbagi kan nggak harus jauh Ndin. Kamu sudah dekat dengan anak-anak dengan
jadi guru ekstrakulikuler kan? Kurang? Kurang bersyukur?,”
Yaa.. apapunlah kata orang. Yang tau
kondisi kita seperti apa kan juga kita sendiri. Sebodo amat orang lain bilang
apa. Terkadang ada beberapa hal yang nggak bisa kita bagi disini, dengan
anak-anak di kota. Kalau semua orang berpikiran seperti itu, lantas bagaimana
nasib anak-anak di pelosok sana? Siapa yang akan berbagi dengan mereka?
“Orangtuamu??”
Iya, itu pertanyaan sulit, berat. Salah
satu alasan gagal di tes sebelumnya mungkin karena tak ada restu orangtua.
Bahkan setelah tes tahap terakhir itu, saya bertengkar hebat dengan mereka.
Orang tua mana yang rela anak perempuannya pergi ke antah berantah yang bahkan
sama sekali tak pernah diinjaknya? Saya paham. Bahkan di tiga kesempatan
terakhir yang tengah saya jajaki ini, mereka tak tahu sama sekali.
Ayolah Tuhan, kalau memang ini gunaku
hidup, kalau memang ini tujuan akhirku, izinkan. Mudahkan dan lancarkan segala
proses hingga goal, termasuk
perijinan dan restu orangtua. Atau seumur hidup saya akan terus galau dan
meracau?
Hahaa...dan hari ini, Rabu, saya jauh
lebih baik :”))
***
Seorang anak dengan pakaian lusuh tanpa
alas kaki, melangkah meninggalkan dusun yang jauh dari keramaian kota di sebuah
pagi yang masih buta. Mungkin, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan
perjuangan anak di pedalaman, Papua misalnya, untuk bisa mendapatkan pendidikan
selayaknya mereka yang tinggal di kota besar.
Hijaunya alam dan kepulauan di Papua
memang sanggup membuat para wisatawan terkagum-kagum. Tapi lebih dari itu,
sungguh ironis jika mengetahui fakta pendidikan di sana yang masih berbanding
180 derajat dengan pendidikan di kota-kota lainnya. Sedih, miris, dan prihatin.
Jadi, pendidikan nggak seindah alamnya kan? Lalu? Kalau saya memang nggak bisa
berangkat kesana, tolong, siapapun, lanjutkan mimpi ini.
Raya Belitung, GKB, 18 November 2015
keren bu..
ahhhgghhh pergolakan batin ya...
Hai Rook :))
Ditangkepnya begitu ya? Mungkin. Hahahhaa