"Permisi... sumbangannya mas," seorang perempuan berkerudung
menghampiri seorang lelaki yang tengah duduk di depan sebuah minimart, sambil
memberikan secarik kertas kecil.
Lelaki itu hanya memandang, lantas mengatupkan kedua telapak tangannya.
Perempuan itu pun membalas dengan senyum, baru kemudian melangkah pergi.
***
"Nggak usah minta-minta kan bisa?"
"Daripada nyuri."
"Kasian anak-anak."
"Kenapa?"
"Ya uangnya dari hasil minta,"
"Kan halal, orangnya ikhlas."
"Tau dari mana mereka ikhlas?"
"Karena aku nggak pernah memaksa mereka, sama sekali."
***
"Ha? enggak. nggak lihat apa-apa," yang ditanya memang menjawab, tapi matanya sama sekali tak beralih dari obyek semula.
"Enggak. tapi mata nggak pindah. Cantik ya?"
"Iya. Penampilannya juga oke, kok tapi dia minta-minta ya?," akhirnya lelaki bernama Sandi itu mengakui juga jika perempuan itu yang sedang diamatinya.
"Hahahaha katanya enggak. Tapi mengiyakan. Memang dia minta-minta?" Rino, kawannya, penasaran.
"Iya, beberapa hari lalu aku ketemu dia. Dia minta sumbangan. Sebentar-sebentar, sepertinya ak masih menyimpan brosur yang dia beri di tas ini." Dan dia mulai membongkar isi tasnya.
"Nah, ketemu. aku baca dulu," seperti kanak yang menemukan harta karun, lelaki berkulit sawo matang itu begitu antusias membaca rangkaian kata yang tertulis dalam lembar kertas kuning tua itu.
"Apa isinya?"
"Sumbangan untuk anak-anak di rumah leukimia,"
"Bagus sih. tapi kenapa nggak cara lain ya,"
"Entahlah," percakapan itu berhenti, seiring yang dipandang tak terlihat lagi.
***
"Nina, kamu nggak perlu berkeliling setiap hari untuk ini. Bukankah banyak hal lain yang harus kau kerjakan dan selesaikan?" perempuan paruh baya itu sama sekali tak memegang uang yang disodorkan.
"Iya banyak, dan ini salah satunya. Supaya lebih banyak biaya terkumpul untuk mereka
*** bersambung karena kamu telfon ***