Someday in "Prudence" - Karena Aku (juga) Wanita



“Apa yang ingin kau bicarakan denganku? Kenapa kau ingin menemuiku? ” Seorang wanita berambut panjang dengan dandanan seadanya dan mata sembab segera menghampiri wanita lainnya di sofa pojok café bernama Prudence di wilayah Jakarta Utara.

“Kenapa kau sendiri mau datang kemari?” Jawab wanita berambut pendek yang diajak berbicara, lengkap dengan senyum sinisnya.

“Karena aku bukan pecundang” Wanita pertama menjawab dengan mantap.

“Sungguh? Lalu kenapa kau tak marah padaku?” Wanita kedua yang lebih fashionable masih terus bertanya tanpa menghilangkan senyum sinis itu.

“Bukan kau yang salah” Ia berujar sambil membuang muka ke arah jendela, melihat lalu lalang para buruh Jakarta yang menghambur di jalanan Ibu kota.

“Maksudmu?” Senyum sinis itu akhirnya hilang juga, berganti dengan wajah yang teramat serius.

“Dia yang selalu menghampirimu” Tatapannya beralih ke lawan bicaranya, bukan wajah serius yang Nampak, wajah sendu lebih tepatnya.

“Bukankah aku yang memberi umpan di awal?” Wanita kedua tak melepaskan tatapannya sama sekali pada wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya.

“Memang. Umpan tetaplah umpan utuh tanpa ada yang memakan. Kau punya hak untuk mencintainya, kau tak bersalah dalam hal ini.” Wajah itu semakin sendu saat air mata ingin sekali keluar dari mata sipitnya.

“Tadi kau bertanya apa yang ingin kubicarakan, aku hanya ingin bertanya kenapa kau tak marah kepadaku, dan yaa..aku sudah tau alasanmu. Kenapa kau tak pernah menyuruhnya memilih, aku atau kau?” Wanita ini..sungguh terus mencecar lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanyaan menentang dan juga tatapan yang siap menerkam.

“Karena aku sudah tau jawabannya, dan aku tak mau kehilangannya. Aku sangat mencintainya” Akhirnya air mata itu jatuh juga, satu tetes, dua tetes, tiga tetes.

“Sampai kapan kau membiarkan keadaan ini?” Nada bicaranya..dia hampir marah, yaa..dia berusaha mengontrol emosinya.

“Selama dia bahagia, aku hanya mengikuti alurnya saja.” Sambil menyeka air matanya. “Kau sendiri kenapa tak menyuruhnya memilih?” Pertanyaan itu ia kembalikan pada sang penanya.

“Karena aku juga wanita, aku tau persis posisimu. Aku sudah tau jawabannya, dia pasti memilihku” Ucapnya, bangga.

“Kau cantik, pintar, kaya, punya segalanya, kau bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik. Kenapa harus suamiku?” Ahh..air mata itu lagi. Entah berapa banyak air mata yang sudah ia keluarkan selama ini, ketika baru datang saja matanya sudah sesembab itu.

“Karena aku mencintainya, sama sepertimu. Bukan begitu?”

Keduanya sama-sama diam, sibuk meracau dalam lamunan, sibuk memikirkan dan membayangkan, pria yang sama-sama mereka idamkan.

“Tapi kurasa cintaku lebih besar daripada kau. Kenapa kau tak melarangnya menemuiku?” Wanita kedua, menyambung pertanyaannya.

“Untuk apa? Dilarang atau tidak dia akan tetap menemuimu. Kurasa justru cintakulah yang jauh lebih besar, aku mengutamakan kebahagiaannya” Wanita ini tak mau kalah, walau dalam keputus asaannya.

“Berdalih kebahagiaan orang yang kau cintai. Tapi kau sendiri lupa jika kau punya hak untuk bahagia Nona. Aku akan pergi dari kota ini, juga dari hidup Mikha. Jaga dia, bukan untukku atau siapapun, melainkan untukmu sendiri. Jangan pernah lupakan hak bahagiamu, jaga dia dari wanita-wanita selanjutnya. Aku memilih pergi karena aku juga wanita, sama sepertimu”

Wanita berambut pendek itu berdiri, meraih tasnya, berbalik, membuka pintu dan meninggalkan Prudence. Ia bergegas menuju mobil merahnya, menyetir dalam guyuran hujan, juga guyuran air mata yang tak disadarinya.

Wanita lawan bicaranya masih disana, di atas sofa hitam di bagian pojok Prudence. Tangisannya semakin menjadi, entah seperti apa bentuk matanya nanti.