Belum Ada Judul (2)

"Mana yg lebih sakit Dil? Ditinggalin pacar demi balikan sama mantannya, ditolak mimpi yang cuma tinggal selangkah lagi, atau jatuh dr motor gegara ditabrak mobil dr blakang?" Laki-laki berkacamata itu mengajukan pertanyaan panjang pada Dila. Dan kini raut wajahnya benar-benar serius menunggu jawaban.

"Apaan sih?" Perempuan itu malah menjawab ala kadarnya tanpa menoleh si penanya. Dia asik membaca majalah travel yang sudah dibelinya dua bulan lalu. Ahh sepertinya dia juga tak fokus membaca.

"Aku serius Dil. Jawab!," seperti guru menanti jawaban ujian, dan tenggat waktu segera habis. Pemilik tinggi tubuh 169 cm itu memaksa Dila menjawab tanya yg diajukannya.

Tak langsung menjawab, Dila menutup majalahnya perlahan, meletakkan di meja samping ranjang. Matanya menerawang, memikirkan pilihan yg ditawarkan si penanya sambil sedikit menahan sakit disekujur badan. "Soal yang kau beri bukan untuk pilihan ganda Fer, tak ada jawaban benarnya. Saat tiga hal atau kejadian itu terjadi dalam jangka waktu nyaris bersamaan, hidupmu rasanya hancur. Ketika kau membuka mata dan mendapati ingatanmu masih sempurna, kau akan mengutuk kenapa tak amnesia saja," senyum sinis hadir di bibir mungilnya.

Ferdi nama penanya itu. Dia rekan kerja dila. Berada disana karena tak sengaja menghubungi Dila, tapi yang menjawab adalah pihak RS. Langsung saja lelaki itu meluncur kesana.

"Dilaaaaaa kamu masih hidup kaan?" Deista dan ada tiga perempuan lain bersamanya. "Baru kemarin aku bilang, nggak mau ke rumahmu dan liat kamu jadi mayat. Terus kamu pilih jadi mayat di jalan gitu?" Perempuan satu ini walau terlihat anggun di luar, sesungguhnya dia lebih cerewet dibanding Dila.

Melihat kedatangan empat sahabatnya, yang satunya langsung mengomel panjang lebar, Dila hanya bisa bengong. Percuma memotong pikirnya, sama seperti dirinya sendiri, hanya butuh didengar.

"Kok bisa Dil? Diantara kita berlima kan kamu yang paling hati-hati. Bahkan saat traffic light masih orange juga kamu sudah berhenti. Kamu yang paling taat lalu lintas. Lalu?" Perempuan berambut panjang yang berdiri di samping Deista ganti bertanya, dengan lebih halus tentunya.

Mengawali dengan senyum, Dila pun menjawab semua tanya mereka. "Lagi meleng aja matanya. Ada cewe pake motor di depanku kan. Nah, dia make wedges kekecilan kayanya. Jadi telapak kakinya keliatan kan, dan itu kakinya berkapal cyin. Aku duluin kan, demi liat kaya gimana wajahnya. Aku fokus bener-benerin spion kiri, dan nggaa liat spion kanan. Eh ditabrak mobil dari kanan. Jatuh deh" Dila berusaha menjelaskan.

Mendapati penjelasan demikian, spontan wajah kelima temannya terlihat shock, dan tak bisa berkata-kata. Hanya Ferdi yg tertawa di pojok kamar. Dila terlihat tak terima melihat respon non verbal para sahabatnya. Apa lagi Deista, yang bertanya panjang lebar dan kini hanya bengong saja.

"Kenapa diem?" Respon itu sama sekali tak sesuai ekspektasinya.

"Dila sayang. Kamu nggak berubah. Konyol tau nggak sih. Demi apa kamu ngeliatin kaki orang pas nyetir? Salah fokus nih bocah," komentar perempuan beranbut panjang yang bernama Ana itu.

"Aku tebak aku tebak. Pasti perempuan dengan kaki kapalnya itu dari belakang kece kan. Dan kaya nggak tau Dila aja, dia harus memastikan penampilan itu sesuai dengan wajahnya atau engga," kawan satunya lagi yang bernama Nadin menambahi dengan tertawa.

Dila pun nyengir seraya menjawab, "tuh tau. Dese kece badai. Dan mau nyocokin wajahnya aja. Cuma itu. Ehh siapa suruh mobil di belakang aku."

"Kamu pikir semua perempuan cantik kakinya mulus ha? Untung km masih hidup. Masa mati gegara salah fokus ke kaki orang," ucap Deista sewot.

Dila hanya satu malam di RS, lukanya tak parah. Hanya lecet lecet di tangan dan kaki. Padahal dia berharap amnesia.

*****

One Response so far.

Leave a Reply