Kuatnya Penambang Belerang Ijen


Bolehkah saya bercerita tentang dua wajah lain Indonesia ? baiklah..cerita pertama berada di kota paling timur pulau jawa, Sunrise of Java…

Kawah Ijen adalah danau kawah terbesar sedunia, dan juga danau paling asam terbesar sedunia. Danau Kawah Ijen merupakan sebuah danau yang terletak di bagian puncak gunung Ijen. Karena proses letusan gunung Ijen, kawah tersebut dipenuhi oleh air sehingga terbentuklah danau kawah yang sangat indah dan menakjubkan. Danau kawah dengan airnya yang berwarna hijau toska dan ber-pH sangat asam.

Awal bulan Maret (ini udah lama sebenernya) saya kesana bersama dengan tujuh orang kawan, dengan membawa kendaraan pribadi (baca: mobil). Saya tak akan menceritakan tentang betapa indahnya kawah ijen, melainkan wajah lain dari kawah ijen sendiri, penambangan belerang tradisional yang diangkut dengan cara dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia saja (Welirang dan Ijen).

Dalam perjalanan trekking menuju puncak gunung ijen, bertemulah saya dengan salah satu bapak penambang belerang, ngobrol santailah kami sambil berjalan bersama (asekk..ngegebet bapak bapak *abaikansaja* :D) apa yang kami bicarakan? Yaa..pertanyaan pertanyaan umum saja yang terlontar dari kami berdua, si bapak bertanya saya dari mana, berapa orang, naik apa, berangkat jam berapa, dan sebagainya. Sementara saya? Saya bertanya terkait pekerjaan menambang belerang ini.

Bapak itu mengaku pagi ini baru saja berangkat, sekitar pukul 04.00 pagi, dan biasanya kembali kerumah selepas maghrib, artinya sekitar pukul 18.00, itu berarti lebih dari setengah hari ia habiskan di kawah gunung Ijen untuk memikul berkilo kilo belerang. Beban yang diangkut per orangnya biasanya sampai seberat 85kg. Beban ini luar biasa berat untuk kebanyakan orang, manakala belerang diangkut melalui dinding kaldera yang curam dan 800m menuruni gunung sejauh 3km. Penghasilannya? Tak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan saya rasa, yang diterima seorang pemikul hanya 750 rupiah per kilonya. Seorang pemikul biasanya hanya mampu membawa turun satu kali setiap harinya, karena beratnya pekerjaan. Beberapa ratus meter terdapat sebuah bangunan bundar kuno peninggalan Belanda bertuliskan “Pengairan Kawah Ijen”, yang sekarang disebut sebagai Pos Bundar, sebuah pos dimana para penambang menimbang muatannya dan mendapatkan secarik kertas tentang muatan dan nilainya.

Dari sini jalan tanah terus menanjak ke ketinggian 2,400m dpl dengan waktu tempuh 2 jam jalan santai. Selain bapak yang berbincang dengan saya ini, masih banyak penambang belerang yang berlalu lalang, sepanjang perjalanan saya banyak berpapasan dengan para pemikul belerang yang ramah dan kami saling bertukar salam.

Setelah asik bertukar cerita, akhirnya saya menoleh ke belakang..dan sadar kalau saya sendirian, teman teman saya? Sepertinya jauh di belakang. Saya suruhlah si bapak tadi berangkat duluan, saya memilih menunggu dengan alasan kesetiakawanan. Saya menunggu mereka di tengah jalan, masih di jalur pendakian, sendirian.

Tiba di bibir kawah, pemandangan menakjubkan berada di depan mata. Sebuah danau hijau tosca dengan diameter 1 km berselimutkan kabut dan asap belerang berada jauh dibawah. Penambang-penambang belerang terlihat kecil dari atas. Untuk menuju ke sumber penghasil belerang tersebut, kita perlu menuruni bebatuan tebing kaldera melalui jalan setapak yang dilalui penambang. Sapu tangan basah sangat diperlukan, karena seringkali arah angin bertiup membawa asap menuju ke jalur penurunan.

Didasar kawah, sejajar dengan permukaan danau terdapat tempat pengambilan belerang. Asap putih pekat keluar menyembur dari semacam pipa besi yang dihubungkan ke sumber belerang. Lelehan fumarol berwarna merah membara meleleh keluar dan membeku karena udara dingin, membentuk padatan belerang berwarna kuning terang. Terkadang bara fumarol menyala tak terkendali, yang biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Batu-batuan belerang ini dipotong dengan linggis dan diangkut kedalam keranjang. Bernapas dalam lingkungan seperti ini dibutuhkan perjuangan tersendiri, para penambang umumnya bekerja sambil menggigit kain sarung atau potongan kain seadanya sebagai penapis udara.

Saat turun, saya dan kawan kawan berhenti sejenak di Pos Bundar. Di sekitarnya ada beberapa orang yang menjual cindera mata dari belerang, harganya 5 ribu rupiah saja, dan anehnya itu berlaku untuk segala bentuk dan ukuran. Entah itu bentuk stalaktit atau stalakmit dengan ukuran besar ataupun bentuk bentuk hewan seperti kura kura dan ikan yang ukurannya lebih kecil. Saya pun membeli dua macam, begitu pula dengan kawan kawan yang lain. Tetiba ada bapak-bapak yang menghampiri kami, seketika ia berkata “mbak, saya beli di bawah tadi 10 ribu dapet empat lhooo..” langsung saja saya jawab, “kita memang ga ada niat nawar kok pak, kasian kalau lihat mereka mikul belerang belerang ini dari atas sana, dari pagi buta pula, ga ada salahnya bagi bagi rejeki.” Bapak itu pun diam, dan berlalu meninggalkan kami. Aneh sekali saya rasa, orang orang seperti itu, yang merasa bangga karena mendapat harga murah, tega sekali mereka menawar cindera mata belerang ini, padahal buat sendiri juga tak bisa. Betapa tak teganya saya jika masih harus menawar padahal saya tau perjuangan mereka, pembelinya juga jarang, orang asing saja mau membelinya, kenapa kita orang Indonesia tak membantu saudara sebangsa? Siapa lagi kalau bukan kita? Toh kita ke kawah Ijen juga tak setiap hari, bahkan mungkin seumur hidup hanya sekali. Kalau kalian kesana, jangan lupa beli cindera mata belerang itu, dan jangan ditawar, itu sudah murah, sangat murah mengingat pengorbanan akan keselamatan ketika menambang belerang yang selalu mereka abaikan.