Anak-Anak Ini (2)

Apa yang lebih menyenangkan dibanding sebuah kenyataan bahwa anak-anak itu, murid-muridmu ternyata setia padamu???

Sabtu, 12 Maret 2016
Di SD MUDA CERIA

"Lho bu Andin datang, tak pikir libur bu," kata Zaidan dengan tampang kagetnya yang masih aja polos kaya Boboho. Saya, benar-benar baru datang dan parkir motor itu ceritanya. Mesin motor belum mati dan saya masih ber-helm serta ber-slayer.

"Asik bu Jur datang, ayo bu masuk kelas bu," ini si Irfan tiba-tiba nongol aja pas saya masih beberes di atas motor.
 ***
Jadi gini, per-Oktober 2015 lalu saya ngajar ekstrakulikuler jurnalistik di sekolah swasta tersebut, demi apapun saya nggak pernah telat. Seriusan. Walau saya sering telat kalau janjian sama orang lain, entah itu narasumber buat berita atau bahkan kawan dan sahabat sendiri, buat anak-anak sebisa mungkin setengah jam sebelum ngajar saya sudah disana.


menulis adalah kegiatan yang dilakukan manusia setiap hari, bahkan sejak ia masih berada di SD
via https://www.sccl.org
Pernah sekali, bukan telat sih ini. Kebetulan, ada sebuah takdir lain di suatu Sabtu di bulan November. Dimana saya bener-bener nggak bisa ngajar kala itu. Pagi hari, sekitar pukul 07.00 saya menghubungi salah seorang guru yang emang koordinator ekstra di sekolah yang terletak di Jalan KH Kholil itu, minta tolong dibilangin ke murid-murid saya kalau hari itu saya berhalangan, dan jadilah mereka saya liburkan.

Lha kok Sabtu depannya .... "Bu, kemarin kita nunggu sampai jam 12 lho. Mbok  kalau nggak datang itu bilang, jangan tiba-tiba ngilang,"  saya digituin sama mereka. Padahal yang salah kan bukan saya, tapi si guru itu. HIKS. Sejak itulah, saya tahu semangat mereka belajar jurnalistik begitu gede, dan saya nggak akan tega ninggalin mereka lagi. Jangankan nggak masuk, datang telat aja saya merasa berdosa.
***
Sabtu, 12 Maret 2016
Di SD MUDA CERIA (lagi)
(Masih) di halaman sekolah

Saya telat, iya telat, nyaris satu jam. Saya nggak enak badan, mata saya berat juga lantaran kurang tidur. Pagi itu pun saya sejatinya ikhlas kalau mereka ternyata sudah pulang ninggalin saya. Tapi ternyata, dua kali fakta membuktikan kalau mereka jauh lebih SETIA dibanding Farhat Abbas dan Regina.

Well, Sabtu itu sebelum memberi materi dan latihan pada mereka, saya terlebih dulu ke kantor guru untuk memberitahukan perihal pengunduran diri saya bulan depan. Iya, karena saya harus segera hijrah ke kota pelajar demi masa depan yang (InsyAllah) lebih baik. Berat sih ninggalin mereka, tapi hidup memang tentang pilihan dan pengambilan keputusan kan?

Finally, dengan berat hati (keliatannya sih gitu) ibu guru koordinator ekstra melepaskan saya, dengan syarat saya harus cari pengganti. Aduh Gusti.
***
Di dalam kelas

"Ini Irfan, Zia, Ziad, Marshanda ngapain?" tanya saya.
"Lhah, ya belajar bu," kata Ziad, dengan gaya cueknya.
"Lihat-lihat aja bu, masa nggak boleh?" Zia menimpali.
"Bu Andin, saya bawa henna, nanti habis kelas tangan ibu saya gambarin ya," jawab Marshanda, yang nggak memberi solusi atas pertanyaan saya.
Dan terakhir, "Duh bu, biar kelas VI juga nggak papa kan kita ikut. Kita nggak ada kerjaan nih bu," papar Irfan. Walaupun paling selengekan, rasanya kali ini dia yang bisa menjawab rasa ingin tahu saya.

Ya gimana, katanya anak-anak kelas VI itu sudah nggak boleh ikut ekstra lagi. Kalau begini bukan saya yang salah kan?

Lalu, sebelum memberi materi, saya bilang dulu ke mereka supaya nggak kaget nantinya. Bilang kalau bulan ini bulan terakhir saya, dan bulan terakhir anak kelas VI ikut ekstrakulikuler.
"Bulan depan akan ada guru jurnalistik baru, akan ada tambahan murid-murid baru dari kelas III sampai V. Dan kalian kelas VI, karena nggak akan ada ibu lagi, fokuslah ke UN," jelas saya.

"Bu Andin mau kemana? Kayanya bulan ini komik saya belum selesai," komentar Zaidan, siswa kelas V.
Saya memang harus menjelaskan. "Ibu pindah kerja ke Jogja. Komiknya nggak usah dua deh, satu aja minggu depan atau dua minggu lagi kamu kasih ibu ya," terang saya, memberi solusi.

"Bu Andin ngapain sih ke Jogja. Kalau bukan ibu yang ngajar, bulan depan saya nggak ikut ekstra ini lagi deh," tiba-tiba si Lala, anak kelas IV yang duduk pas di depan saya bilang gitu, dengan raut wajah yang...saya nggak yakin bisa menggambarkannya.

"Lho kok gitu, Jangan La, nanti sebulan atau dua bulan sekali ibu bakal tetep ngajar disini (palsu banget gue!). Lalu, kalian mau guru kaya gimana nih? Cewe apa cowo?" tanya saya mengalihkan isu.

Sontak, kelas pun ramai. Namanya anak SD, masih suka nge-gap kalau main, cewe sama cewe, cowo sama cowo. Guru pun mereka ingin yang jenis kelaminnya sama dengan mereka. Saya sih nggak punya kriteria khusus, mau cewe atau cowo, yang penting cinta anak-anak dan membudayakan literasi. Ahhhhhhhhhhhh jangankan cari penggantimu, ternyata cari pengganti diri sendiri itu susah ya....

Gresik itu ya mereka.

Gresik, 14 Maret 2016 
Di sela-sela ngetik naskah koran 

Leave a Reply