Dari dipalak sampai dikutuk di jalanan...


pengamen di kereta ekonomi
Seiring berkembangnya jaman, berkembang pula lapangan pekerjaan, termasuk ‘pekerjaan’ mengamen. Dulu yang namanya ngamen ya ngamen aja, nyanyi satu sampai dua lagu, minta bayaran ke pendengar seikhlasnya. Dapet alhamdulillah, nggak dapet ya udah...
Dewasa ini yang namanya tukang ngamen atau pengamen malah berubah jadi tukang palak -.- untung-untung mereka menyanyi full satu lagu dan suaranya bagus, eh kalau Cuma setengah lagu dengan suara hancur? Dipalak pula...
 yaa..cerita berawal (masih) di kereta ekonomi elit Logawa. Waktu sampai daerah sekitaran Jogja, ada (kalau tidak salah menghitung) enam pemuda yang bener-bener gagah dan masih muda (kenapa ngamen?) ’menjual’ suara mereka di kereta.  Udah nyanyi rombongan, Cuma jual satu lagu dengan suara pas-pasan juga. Tibalah waktunya mereka meminta bayaran pada seantero penumpang yang (dipaksa) mendengarkan suara mereka. Dengan modal bungkus bekas satu pak permen kopiko, satu orang dari mereka berkeliling setiap satu gerbong menengadahkan bungkus permen meminta rupiah. Harusnya itu kan sukarela ya, mau memberi atau tidak juga itu hak kita, eh dia malah maksa. Ada yang udah bilang “maaf mas” atau memberi kode dengan tangan seperti biasa, si pengamen malah seakan tidak melihat dan mendengarnya, dia terus menjulurkan bungkus permen sampai ada rupiah  yang masuk dari SETIAP penumpang. Setelah (agak) lama menunggu, dan jika penumpang cuek serta tetap tidak memberi, dia akan pergi dengan sendirinya dengan mulut komat kamit.

Tiba saat dia datang di bangku saya, saya pun memasukkan rupiah pada bungkus permen itu. Namun saudara sepupu saya yang  duduk disamping tengah asyik memainkan ponselnya. Nasib..pengamen itu terus menunggu rupiah dari saudara saya, saya pun berkata “mas, itu tadi sudah jadi satu sama saya” dan dia menjawab, “aku pengen mbak yang itu yang ngomong mbak, bisu ya?”  sialan..pikir saya, udah dikasih masih ngomong gitu pula..untungnya saudara saya sadar, dan berkata hal yang sama seperti saya, reaksi pengamen itu pun tidak saya bayangkan sebelumnya. “gitu kan jelas mau ngasih atau enggak, kalau punya mulut ya ngomong, jangan malah kaya orang bisu!” ucap pengamen itu dengan suara (sangat) lantang yang (saya yakin) mampu didengar gerbong tetangga. Ulah pengamen jogja tidak selesai sampai disitu, selesai menarik rupiah dari gerbong saya, ia kembali melewati bangku tempat saya duduk, dan tahukah anda apa lagi ulahnya? Menatap sepupu saya dengan mata melotot dan tatapan yang tajam, memukul bangku kami dan tak berhenti menatap hingga tak melihat kami lagi. Oh God..

Ada lagi ulah pengamen Bandung waktu saya traveling disana bulan lalu. Kala itu saya keliling kota kembang dengan angkot, tibalah saya di lampu merah yang (tentunya) mengundang para penyanyi jalanan masuk ke dalam angkot dan lagi-lagi memaksa penumpang merogoh dompetnya.  Hebatnya tak ada satu pun dari kami di dalam angkot yang full penumpang ini memberi rupiah pada pengamen dengan penampilan punk itu. Karena mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi yang dia harapkan, raut wajahnya seketika berubah menjadi garang, turun angkot dan memaki setengah mengutuk dengan sumpah serapah memakai bahasa sunda.

 Ya Tuhan..kenapa pengamen sekarang jadi seperti ini,, padahal kalau dipikir  dengan logika yang normal, kita punya hak untuk memberi uang kepada mereka atau tidak, bahkan kita juga bisa memilih untuk mendengarkan mereka atau mengalihkan perhatian seperti memainkan ponsel sekedar untuk tidak menyakiti telinga karena (maaf) suara mereka yang pas-pasan (walaupun tidak semuanya).