“Kami Tidak Membatasi TBM Itu Harus di Balai RW”


potret anjal kota Surabaya

“Dari hasil evaluasi, buku telah dikalahkan media elektronik. Hasil survei wilayah Jawa Timur, kurang dari 50 %, atau hanya ada 20 % minat membaca.” Kalimat itu tegas keluar dari mulut Sugeng Nuharianto, pengawas dan pembina petugas TBM (taman baca masyarakat, red.) wilayah Surabaya.
Sugeng menuturkan jika pemerintah tengah menggalakkan pendirian seribu TBM hingga tahun 2015 nanti. “Hal itu ada di peraturan daerah (perda) No. 5 tahun 2009. Sejauh ini memang belum ada penegasan dari pemerintah, tapi rencananya tahun 2012 nanti akan ditegakkan,” tambahnya.
Rumah belajar Pandawa yang bertempat di tepi rel kereta api, kecamatan Wonokromo, juga telah satu minggu ini mendirikan perpustakaan mandiri. “Peraturan pemerintah menyebutkan dalam satu RW itu hanya ada satu TBM, sedangkan RW kami ada sepuluh RT, nggak mungkin anak-anak sini mau baca ke RT 10, kan jauh,” ujar M. Ali Shodikin, pendiri Rumah belajar Pandawa, ketika ditanya alasan mendirikan perpustakaan mandiri.
Tujuan didirikannya rumah belajar Pandawa sendiri adalah pengabdian Ali dan keempat temannya, mahasiswa IAIN Sunan Ampel, kepada masyarakat dengan mengamalkan ilmu, pembelajaran anak-anak kurang mampu, dan juga memodali mereka dengan keterampilan. Ali dan kawan kawan juga telah melakukan survei di beberapa lokasi di kota Surabaya, sebelum memutuskan lokasi tetap rumah belajar ini.
“ Menurut kami desa ini pantas untuk mendapatkannya. Lokasi yang minus karena warganya yang bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial, red.), pemulung, dan pencuri. Anak kecilpun mengamen, banyak anak yatim, juga fakir miskin,” papar mahasiswa jurusan Hukum Islam tersebut.
Terkait perpustakaan mandiri yang telah didirikan, karena dalam satu RW hanya ada satu TBM, Sugeng pun menanggapi, “Sebenarnya kami tidak membatasi TBM itu harus di balai RW,  namun karena yang mengajukan adalah RW dan rekomendasi RW,  masalah penempatan itu menjadi kekuasaan RW.”
Pria yang pernah menjabat sebagai lurah ini juga menegaskan jika ia menghendaki TBM itu ada di lokasi rumah belajar Pandawa, karena lebih membutuhkan. “Dari hasil evaluasi kami, jika diletakkan di balai RW yang ada di RT 10 itu targetnya kurang, namun karena mas Ali bergeming dengan pak RWnya yang ‘kaku’, saya sendiri juga nggak bisa,” imbuhnya.
Hal berbeda dilontarkan Sulistyawati, istri ketua RW 1 kelurahan Ngagel, kecamatan Wonokromo. “Awalnya memang di balai RW, namun sekarang setiap bulan bergantian di setiap RT, dibalai RT,” ungkapnya ketika dikonfirmasi perihal lokasi TBM ini. Ia juga memaparkan jika pengunjung TBM per harinya jauh lebih banyak di setiap balai RT, daripada dipusatkan dibalai RW.
Rumah belajar Pandawa sendiri telah memiliki empat puluh orang murid, yang juga pengunjung tetap perpustakaan mandirinya. Namun diantara banyak anak-anak yang mengaku senang menimba ilmu disana, juga ada beberapa anak yang memutuskan untuk belajar sendiri saja.
“Ada  tiga orang, Silvi, Devi, dan Cinta. Mereka nggak betah karena malu sering diejek orangtuanya miskin,” ujar Oky, murid kelas tiga SD yang mengaku senang membaca buku bahasa inggris. (and.)

2 Responses so far.

  1. PANDAWA says:

    terimakasih atas tulisanya. akan tetapi sekarang ditempat kami perpustakan kota surabaya. menarik diri dikarenakan akan adanya penggusuran.disisih lain minat baca anak-anak sudah banyak. apa saudara punya solusi?

  2. boneeto says:

    sama-sama mas :) subhanallah..sungguh sedih mendengar kabar ini :' apa kabar mereka? masih sibuk berburu rupiah ditengah teriknya metropolitan? berarti TBM atau rumah singgah pandawa sudah tak ada? bagaimana dengan perpus mandiri saja

Leave a Reply